KRL Jabodetabek; Memberikan Kepastian Mobilitas bagi Pelaju

SUDAH lebih dari 10 tahun Aan (45) merasakan sesaknya KRL di pagi hari. Bersama ribuan pekerja lainnya, dia rela berdesakan demi mendapatkan tempat dan segera terangkut ke Jakarta. Dari waktu ke waktu, kereta komuter kian padat. Namun, ini pilihan logis di tengah kemacetan lalu lintas.

”Kalau penuh, kadang kami sampai didorong masuk oleh sesama penumpang,” kata Aan, pegawai negeri yang setiap pagi berangkat dari Stasiun Depok ke Gondangdia.

Perkembangan permukiman di sekitar Jakarta dan magnet Jakarta sebagai penyedia lapangan kerja membuat jumlah pekerja komuter (pelaju) terus meningkat. Artinya, kebutuhan perjalanan juga terus bertambah. Kemacetan lalu lintas tidak terelakkan. Sebagian pekerja komuter pun memilih kereta listrik sebagai solusi moda transportasi.

Aan langsung memutuskan memakai kereta setelah bermukim di Depok. Pilihan untuk naik kereta dirasakannya paling masuk akal di tengah kemacetan Jabodetabek yang makin parah.

Jika tidak ada gangguan, perjalanan dengan kereta memakan waktu kurang dari satu jam. Adapun perjalanan dengan mobil atau bus menghabiskan waktu lebih dari dua jam.

”Biarpun stres berdesakan di kereta disertai risiko kecopetan, ini jauh lebih baik daripada terjebak kemacetan,” ujarnya.

Dalam sebulan, Aan (hanya) merogoh uang sekitar Rp 100.000 untuk ongkos perjalanan pergi-pulang dengan KRL. Tarif ini tergolong terjangkau dibandingkan dengan memakai transportasi publik lainnya atau bahkan membawa mobil.

Lokasi stasiun di Jakarta yang tersebar di tengah pusat bisnis ataupun pemerintahan membuat KRL kian diminati penumpang dari berbagai kelas sosial. Mobilitas pekerja kantor, pedagang pasar, dan pekerja bangunan bertumpu pada kereta. Ada yang asyik dengan gadgetnya, ada pula yang membawa bakul ataupun pacul.

Ita, pedagang Blok G Tanah Abang, mengaku mengandalkan KRL sebagai moda transportasi dari rumahnya di Bintaro, dekat Stasiun Sudimara, ke Tanah Abang. ”Sekali jalan saya bayar Rp 2.000. Kalau pakai kereta, bi-
sa menghemat ongkos perjalanan,” ujar pedagang pakaian itu.

Tarif yang murah membuat jumlah penumpang KRL melonjak. PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KCJ) selaku operator KRL mencatat, jumlah penumpang sepanjang Juli-Desember rata-rata lebih dari 15 juta orang per bulan. Sebelumnya jumlah penumpang kereta sekitar 11 juta orang per bulan. Pertambahan jumlah penumpang ini bersamaan dengan diberlakukannya tarif progresif bersubsidi untuk KRL.

Nikmatnya naik KRL juga dirasakan Heru Yuliarto. Warga Bogor yang bekerja di perusahaan teknologi informasi itu jadi pengguna kereta sejak tahun 2000 setelah pindah ke Bojonggede. ”Walau kenyataannya KRL belum bisa bebas gangguan perjalanan, moda ini yang paling praktis dan paling bisa dipatok waktu perjalanannya,” katanya.

Setelah sekian lama menjadi penumpang kereta, Heru merasakan sejumlah pembenahan yang menguntungkan penumpang. Wajah stasiun, misalnya, tidak lagi kumuh dan dikuasai pedagang. Kini, penumpang mendapatkan peron sebagai ruang khusus untuk menunggu kereta meski pada jam sibuk tetap saja sesak oleh calon penumpang.

”Sekarang, peron cukup nyaman. Peron yang bersih merupakan penghargaan kepada penumpang,” ujarnya.

Heru juga merasakan sistem satu tiket dan keharusan bagi semua orang untuk membeli tiket saat masuk peron sebagai langkah positif. Penumpang tidak lagi iri melihat sebagian oknum bisa leluasa naik-turun kereta tanpa tiket.

Kondisi ini, menurut Heru, membuat kereta makin padat dari waktu ke waktu. Penumpang makin susah mendapatkan ruang di kereta yang sudah teramat penuh. Padahal, pertambahan perjalanan kereta tidak bisa secepat pertambahan penumpang.

Keunggulan KRL ini tidak berarti pengoperasiannya selalu lancar. Heru mengatakan, masih ada gangguan yang kerap menghambat perjalanan kereta, mulai dari gangguan wesel, sinyal, pantograf, hingga listrik aliran atas. Belum lagi ada sejumlah kereta yang panas karena penyejuk ruangan tidak berfungsi optimal menyejukkan kereta yang sudah sesak oleh penumpang.

”Sebagai pekerja, kami berharap agar jadwal perjalanan bisa ditepati. Kalaupun meleset, jangan terlalu jauh dari jadwal semula,” ucapnya.

Direktur Utama PT KCJ Tri Handoyo mengakui, belum semua pelayanan KRL memuaskan. Salah satunya adalah penyejuk ruangan yang acap kali tidak optimal.

PT KCJ juga memperbaiki pelayanan di dalam kereta. Di beberapa rangkaian kini mulai terdengar suara petugas mengumumkan stasiun yang akan disinggahi berikutnya. Begitu pula jika ada gangguan di perjalanan. Sayangnya, belum semua rangkaian memiliki pengeras suara yang baik sehingga informasi dari petugas bisa terdengar jelas.

Rangkaian seri 205 yang dibeli dari operator di Jepang pada 2013 ini mulai dioperasikan dan memungkinkan ada rangkaian cadangan. Beberapa bulan sebelumnya, operasional KRL tanpa rangkaian cadangan sehingga perjalanan KRL sering dibatalkan jika ada satu rangkaian yang ngadat.

Di sisi lain, perbaikan gangguan perjalanan secara keseluruhan merupakan pekerjaan panjang dan berat yang harus segera diselesaikan operator, regulator, dan penumpang jika ingin menjadikan KRL sebagai moda transportasi komuter unggulan.

Perawatan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana adalah keniscayaan untuk menjamin kualitas transportasi massal.

(Agnes Rita Sulistyawaty)

diambil dari Kompas, 20 Maret 2014

Tinggalkan komentar